Selasa, 28 Mei 2013

Makalah kelompok 9




Agama Shinto
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
“Agama-agama Minor”

Dosen Pembimbing : Hj.Siti Nadroh, M.Ag




Disusun Oleh :


Nur Rismayanti




JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA VI/A
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013




BAB I
PENDAHULUAN

Jepang adalah sebuah negara yang rakyatnya memiliki kehidupan beragama yang cukup rumit. Agama Shinto, yang akan menjadi uraian tulisan juga tidak identik dengan agama jepang, sungguhpun antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam istilah “agama jepang” sekurang-kurangnya tercakup 5 paham keagamaan, yaitu agama rakyat, Shinto, Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Dibawah istilah tersebut tercermin adanya kesatuan dan keragaman dalam kehidupan agama-agama di jepang. Dikatakan “kesatuan” karean masing-masing agama yang telah disebutkan diatas tidak hidup dalam keadaan yang terpisah satu sama lain, baik dalam sejarah perkembangan masing-masing maupun dalam dinamika kehidupan beragama sehari-hari. Disepanjang sejarah jepang, masing-masing agama tersebut saling mempengaruhi satu samalain. Lagipula, orang-orang jepang pada umumnya memandang dan menghayati agama lebih sebagai sebuah pandangan dunia yang terpadu.
Sangat berbeda dengan agama-agama monotheistic, Islam misalnya, agama jepang, khususnya Shinto, tidak menekankan pada kepercyaan terhadap adanya satu tuhan yang mutlak dan tidak pula secara tajam menerapkan perbedaan antara dewa dan manusia. Bagi agama tersebut, manusia, dewa dan alam membentuk suatu segitiga saling hubungan yang harmonis. Keserupaan antara manusia, dewa dan alam ini merupakan suatu dasar utama dalam agama Shinto. Dalam kaitan, “dewa” dapat dipahami sebagai kami dalam ajaran Shinto atau para Buddha dan bodhistva menurut paham Budhisme. Pengertian istilah kami itu sendiri sangat mebingungkan karena jumlahnya sangat banyak, bahkan tak terhingga, dan jenisnya pun sangat beragam.
Disepanjang sejarah agama jepang, terlihat bahwa agama memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai missal, sekarang upacara perkawinan tradisional sering diadakan di tempat-tempat suci agama Shinto, sementara upacara kematian biasanya dilakukan di klenteng-klenteng Buddha. Dalam hal itu, langsung atau tidak langsung, agama juga memiliki hubungan yang khusus dengan beberapa kegiatan ekonomi masyarakat sebagaimanan terlihat dari beberapa kegiatan tempat-tempat suci yang melayani kelompok-kelompok kerja tertentu, semisal petani, pengrajin, nelayan dan sebagainya.[1]

BAB II
PEMBAHASAN


A.   Mite Penciptaan Dunia dan Asal-Usul Kedewaan
Sedikit sekali yang diketahui mengenai masa prasejarah jepang, khususnya yang menyangkut asal-usul bangsa dan bahasa jepang. Sekalipun demikian, para ahli pada umumnya sepakat bahwa sebelum buddhisme dan kultur cina memasuki jepang, tradisi dan praktek-praktek keagamaan jepang kuno berpusat pada lingkungan keluarga, belum terorganisasi, dan hanya merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai bentuk pemujaan alam, arwah nenek moyang, dan shamanisme.
Setiap suku memiliki dewa sendiri, yang kadang- kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Para dewa digambarkan sebagai manusia sebagaimana terlihat dalam mite-mite kuno tentang terjadinya kepulauan jepang. Pada umumnya segala kewujudan yang menimbulkan perasaan segan dan takut dianggap mengandung sifat-sifat kedewaan bahkan, benda-benda alam seperti binatang, pohon, gunung dan sebagainya juga dijadikan objek pemujaan. Semuanya disebut kami.
Kira-kira pada abad ke-4 masehi, suku yamato berhasil menguasai wilayah jepang bagian tengah dan selatan. Sejalan dengan itu, mite dan tradisi suku ini kemudian juga dianggap lebih unggul daripada tradisi-tradisi suku-suku  lainnya. Lambat laun mite suku yamato terbeut menjadi dasar utama bagi kepercayaan masyarakat jepang tentang asal-usul kedewaan dan kelebihan bangsa jepang daripada bangsa-bangsa lain.
Uraian utama dalam mite suku yamato tersebut adalah tentang asal-usul alam dan dunia ini, khususnya kepulauan jepang. Pada mulanya, disebutkan langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu dan belum dapat dibeda-bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan : unsur-unsur ringan yang membentuk langit dan unsure-unsur berat yang membentuk bumi. Dari awan putih yang terletak diantara kedua unsure tersebut muncul 3 dewa, yang disebut 3 kami pencipta. Kemudian muncul pula 2 dewa yang selanjutnya memeperoleh perhatian dan tempat istimewa dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan jepang lengkap dengan dewanya, seperti:
·         Dewa bumi
·         Dewa air
·         Dewa gunung, dsb
Dan alat-alat penting lainnya yang terdapat di alam ini. Setelah melahirkan dewa api, Izanami meninggal dunia, kemudian menjadi dewi Tanahyomi, tempat orang-orang yang telah mati. Ketika Izanagi pergi mengunjungi istrinya yang sudah mati itu, ia melanggar suatu pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi ke laut untuk melakukan upacara pensucian. Ketika sedang membersihkan diri di air, dari matanya sebelah kiri terjadi dewi matahari, Amaterasu, dan dari air matanya sebelah kanan terjadi dewu bulan, Tsukiyomi, sementara dari yang dipergunakan untuk membersihkan hidungnya terjadi dewa laut dan gelombang.
Dewi Amaterasu memiliki seorang cucu yang bernama Ninigimikoto, yang ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah dunia untuk selama-lamanya. Ia turun didaerah Kyushu. Putranya, Jimmutenn, adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar jepang pertama kali. Dari garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan diakalangan rakyat jepang bhwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti kekaisaran tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini pula para kaisar jepang menyatakan asal-usul mereka.
Dengan demikian, kira-kira mulai saat suku yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa jepang yang beraneka ragam sedikit demi sedikit mulai dibersatukan dan diorganisasikan kedalam suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu system ritus yang dipusatkan pada Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.[2]
Dalam mite disebutkan bahwa, ketika penciptaan sedang berlangsung, unsure-unsur alam yang halus dan ringan berubah menjadi langit, dan unsure-unsur yang berta dan asar menjadi bumi. Disamping itu, langit dianggap suci oleh karena itu, agaknya, takamano-hara dianggap sebagai sebuah dunia yang suci dan cemerlang yang segala sesuatu lebih baik daripada dunia ini. Dan menjadi tempat tinggal para dewa langit. Bertitik-tolak dari pemikiran mitologi semacam ini maka bangsa jepang percaya bahwa para dewa turun dari langit untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian diatas bumi ini. Akan tetapi, dikatakan pula hal ntersebut bukan berarti bahwa dunia langit secara esensial berbeda dari dunia bumi, tetapi dunia langit hanya merupakan sebuah dunia yang lebih dari dunia manusia ini.

B.   AWAL MULA AGAMA SHINTO
Agama Shinto didirikan mulai sekitar 2,500 - 3000 tahun yang lalu di Jepang. Agama ini memiliki 13 sekte yang mana masing-masing dari 13 (tigabelas) sekte kuno memiliki pendirinya. Dengan pengikut sekitar 30 Juta orang, dominan terbesar di Jepang. Sebagian besar juga adalah penganut agama Buddha. Ada dua pemisahan utama. Pertama adalah tiga belas sekte-sekte kuno, hampir sama semuanya. Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Shinto Negara, dan merupakan sinthesa kemudian yang menemukan ekspresi tertinggi pada pemujaan pada Kaisar dan kesetiaan pada Negara dan keluarga.
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok.[3]
Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.[4]
Agama Shinto pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.[5]
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang, penyebarannya adalah di asia dan terbanyak di jepang, kira kira pada abad 6 masehi agama budha masuk ke jepang dari tiongkok dengan melalui korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembangan dengan pesat bahkan lama kelamaan agama itu dapat mendesak agama shinto akan tetapi karena agama shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja maka raja pun berusaha untuk melindunginya.
Pada abad ke-7 Shinto masih berpegang teguh pada sifatnya yang sederhana dan corak keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula bangsa jepang mulai membayangkan sebagai sebuah Negara kekaisaran yang mampu menyaingi kultur bangsa Cina yang sudah lebih dulu maju, dan agama Shinto memeberi kemungkinan diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang pernah dilakukan oleh para penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan terhadap Dewi Matahari yang pernah dikembangkan oleh suku tersebut dihidupkan dan digalakkan kembali.[6]
Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik Negara, kemudian agama Shinto bercampur dengan agama budha demikian pula dengan agama konghucu yang masuk ke jepang langsung dari tanah asalnya kira kira pada abad pertengahan ke 7, Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Ahirnya ketiga agama itu bergandengan bersama sampai sekarang, hal itu tidaklah aneh karena orang jepang tidak menolak kepercayaan apapun yang masuk negrinya, asalkan tidak menggangu keselamatan Negara, tujuan utama bagi pemeluk agama Shinto adalah kebahagiaan dalam kehidupan dunia, mereka menganggap bahwa orang yang sudah mati dapat membantu mereka dalam menjalankan hidup ini dari abad keabad kultus (kebaktian) terhadap roh nenek moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat kultus yang khas masih tetap sama.[7]

C.   SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA SHINTO
Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi kepada beberapa tahapan masa sebagai berikut:
I)       Masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 sebelum masehi sampai tahun 552 masehi, didalam masa duabelas abad lamanya.
II)    Masa agama Budha dan ajaran Konghuchu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M sanpai tahun 800 M yang dalam masa dua setengah abad itu agama sintho beroleh saingan berat. Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama Budha dan menyampingkan Kami no Michi.
III) Masa sinkronisasi secara berangsur-angsur antara agama Shinto dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari tahun 800M sampai tahun 1700M. Yang dalam masa sembilan abad itu pada akhirnya lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Panduan). Dibangun oleh Kobo-Daishi (774-835) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500M) dan lainnya.[8]

v  MASA DINASTI HEIAN (794-1160 M)
Pada masa ini muncul usaha-usaha untuk merukunkan agama Buddha dan Shinto. Tokoh nya antaralain adalah :
       I.            Saicho (Dengyo Daishi) (767-822 M)
Mendirikan sekte Tendai pada tahun 805 M. Saicho mengajarkan bahwa dewa-dewa agama Buddha sebenarnya sama dengan dewa-dewa agama Shinto. Para dewa tersebut sama-sama mengembangkan kedua agama tadi.

    II.            Kukai (Kobo Daishi) (774-835 M)
Mendirikan sekte Shingon pada tahun 809 M. Kukai mengetengahkan suatu teori Inkarnasi baru yang mengajarkan untuk menyelamatkan umat manusia Buddha selalu muncul dalam aneka perwujudan di berbagai tempat yang berbeda-beda. Menurut teori ini, dewa-dewa agama Shinto pada hakikatnya adalah penjelmaan dari para Buddha itu. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap dewa-dewa Buddha dengan pemujaan dewa-dewa agama Shinto. Lebih lanjut dikatakan bahwa, Buddha Gautama adalah sama dengan Dewi Matahari, sementara para dewa agama Buddha yang lebih rendah tingkatannya adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto yang tingkatannya juga lebih rendah. The theoretical forula for the “coexistence of Shinto and Buddhism” was later designated either as Ryobu (Two-sided).[9]
Sebagai akibat dari perpaduan diatas, perbedaan antara agama Shinto dan Buddha hamper sudah tidak tampak lagi. Meskipun demikian percampuran kedua agama tadi tidak terjadi secara sempurna. Diakalangan rakyat umum tetap ada semacam pembagian tugas dan fungsi antara keduanya yang masih tetap berlanjut hingga sekarang, yaitu :
I)       Agama Shinto- Membimbing urusan Keduniaan- (Kelahiran,Perkawinan,Festifal & Perayaan kemenangan dalam perang)
II)    Agama Buddha- Mengatur hal-hal yang menyangkut upacara-upacara untuk orang yang sudah mati. Oleh karena itu agama Buddha di jepang seringkali disebut dengan “agama orang yang sudah mati”.

v  MASA DINASTI KAMAKURA (1185-1336 M)
Masa ini disebut juga dengan masa kebangkitan Agama Buddha dan kemerosotan agama Shinto. Agama Buddha, yang semula masih dianggap asing dirubah menjadi agama asli jepang, karena gerakan-gerakan terpenting pembaharuan keagamaan yang terpenting pada masa ini semuanya berasal dari agama Buddha.
v  MASA DINASTI ASHIKAGA (1336-1573 M)
Pada masa ini muncul suatu aliran dalam agama Shinto yang mengajarkan kesatuan antara Shinto, Buddhisme, dan Konfusianisme. Aliran ini disebut Yoshida Shinto, yang didirikan oleh Yoshida Kanetomo (1435-1511 M). kesatuan diantara ketiga agama itu digambarkan sebagai berikut :
Agama Buddha dianggap sebagai Bunga dan buah dari semua prinsip aturan (Dharma) yang ada di alam ini; Agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya; Agama Shinto sebagai akar dan batangnya.”
Aliran ini, disamping menganggap Kami sebagai kewujudan yang berada diluar manusia juga menganggap nya menempati dalam jiwa seseorang. Sejak akhir zaman pertengahan sampai saat restorasi zaman Meiji, sekte Yoshida Shinto memiliki banyak pengikut yang tersebar luas diseluruh jepang dan cukup berpengaruh dalam lingkungan para pendeta dan dalam menentukan bentuk-bentuk upacara agama Shinto.

v  MASA DINASTI TOKUGAWA / EDO (1603-1863 M)
Dibawah dinasti ini rakyat jepang menikmati masa yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian. Pada masa ini agama Buddha dijadikan satu-satunya agama yang diakui di jepang. Kebijakan ini semula dimaksudkan untuk membendung arus kristenisasi (pertamakali dibawa oleh bangsa Portugis tahun 1542).  Namun demikian pada masa ini juga lahir beberapa aliran baru dalam agama Shinto dengan tujuan revivalis dan pembaharuan. Diantaranya adalah :
I)       Aliran Mito
Dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700 M). Para anggota aliran ini terdiri dari para ahli sejarah yang sangat berminat mempelajari teks-teks kuno jepang dan berusaha membangkitkan kembali perhatian masyarakat terhadap sejarah budaya dan tradisi asli Jepang.

II)    Aliran Fukko Shinto
Yang berarti restorasi atau reformasi Shinto. Tokoh-tokohnya antara lain adalah :
1)      Kada no Azumamaro (1669-1736 M)
2)      Kano No Mabuchi (1697-1769 M)
3)      Motoori Norinaga (1730-1801 M)
4)      Hi-rata Atsutane (1776-843 M)
Aliran ini bertitik-tolak dari penelitian yang cermat terhadap bahasa-bahasa Jepang kuno agar memperoleh pengertian yang inti mengenai agama Shinto.
Pada masa akhir kekuasaan dinasti Tokugawa muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini karena 2 hal, yaitu :
1)      Agama Buddha yang sudah menjadi agama Negara, memperoleh kesan buruk. Sementara perhatian masyarakat terhadap agama asli semakin meningkat, Sehingga pada penghujung masa Tokugawa, banyak klenteng-klenteng ditutup dan para pendetanya meninggalkan pos-pos mereka.
2)      Dibukanya kembali hubungan Jepang dengan asing (Barat) yang sebelumnya ditutup sejak Jepang memulai masa isolasinya pada tahun 1639.
Ketidakpuasan masyarakat ini mengakibatkan berbagai macam agama yang baru mulai banyak bermunculan. Yaitu :
III) Sekte Kurozumikyo
Didirikan oleh Kurozumi Munetada (1780-1850 M). dia mengajarkan bahwa dewa dan manusia hakikatnya adalah satu. Dalam kesatuan ini tidak ada kelahiran atau kematian melainkan semata-mata kehidupan yang abadi. Para pengikut sekte yang didirikannya percaya bahwa spirit Dewi Matahari merasuki seluruh alam, dan orang harus berusaha untuk menyatukan diri dengan spirit Dewi ini agar dapat merasakan dan menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber utama kebahgiaan hidup.

IV) Sekte Tenrikyo
Didirikan oleh seorang wanita bernama Nakayama Miki (1789-1887 M). dan memperoleh pengakuan sebagai salah satu dari sekte-sekte agama Shinto yang baru di tahun 1908. Sesudah masa perang berakhir, sekte ini menyatakan diri keluar dari kelompok agama Shinto, dan pada tahun 1970 diakusi sebagai sebuah agama yang berbeda dari agama Shinto.
Kaisar Tokugawa akhirnya tirun tahta pada tahun 1868. Jepang kemudian memasuki masa modern dalam sejarahnya. Pada masa ini hingga meletusnya perang di tahun 1945, sejarah agama di Jepang berhubungan erat dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik pemerintah. Selama periode 1868-1945 itu kehidupan agama-agama di Jepang, terutama yang berkaitan dengan agama Shinto, ditandai oleh 4 ciri pokok, yaitu :
1)      Usaha pemerintah untuk menciptakan sebuah Negara Teokrasi
2)      Penataan system Jinja
3)      Campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan
4)      Militerisme dalam agama. [10]

D.   AJARAN DAN KEPERCAYAAN SHINTO

v  K a m i
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.[11]
Istilah Kami diterapkan terhadap kekuatan dan objek-objek tertentu, tanpa membedakan apakah objek tersebut adalah benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat misteriusdan menimbulkan rasa segan dan takut dapat dianggap sebagai Kami.
“Pada mulanya istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja. Disamping itu, bukan hanya manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luarbiasa, semuanya disebut kami. Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami  apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti.”
-Motoori Norinaga (Seorang sarjana dan pembaharu Shinto di zaman modern)-
Dari kutipan diatas dapat diketahui adanya 4 hal yang mendasari konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu :
1.      Dewa-dewa tersebut pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam.
2.      Dewa-dewa tersebut dapat pula berarti manusia
3.      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
4.      Pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan dan takut.[12]
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”.[13] Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”.[14]
Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, yang dipuja dalam Shinto antara lain[15] :
·         Naga (mahkluk berupa ular)
·         Dosojin, Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang)
·         Dewa Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Srigala)
·         Oinari (Roh Srigala)
·         Shishi (Singa)
·         Su-ling (Empat Binatang Pelindung)
·         Tanuki (Sejenis Dewa
·         Inari (dewa makanan)[16]
·         Aragami (Roh ganas dan jahat)[17]
·         Dewa-dewa Tanah dan Dewa-dewa Gunung dan Dewa-dewa Pohon
·         Dewa-dewa Air dan Dewa-dewa Laut
·         Dewa-dewa Api
·         Dewa-dewa manusia

v  Ajaran Tentang Manusia
Hubungan kami dengan manusia terjalin suatu hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenek moyang dengan keturunannya. Dengan demikian “manusia adalah putra kami”. Ungkapan ini memiliki 2 macam arti :
1)      Kehidupan manusia berasal dari kami, sehingga dianggap suci.
2)      Kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari kami.
Dalam agama Shinto, manusia memiliki banyak arti, diantaranya :
·         Hito (tempat tinggal spirit)
·         aohito-gusa (manusia-rumput hijau) Dalam bahasa Jepang kuno
·         ame no masu-jito (manusia- langit-yang berkembang)
konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto. Segala bentuk upacara keagamaan yang dikerjakan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi “suci” yang sangat diperlukan dalam mendekati kami. Penyakit, luka, menstruasi, dan kotoran-kotoran lainnya dianggap sebagai hal-hal yang dapat merusak hubungan manusia dengan kami.
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib baik, dan bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri. Perbuatan jahat dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya "baik". Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus menempatkan penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan salam. Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",. "Saya akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya kepada semua makhluk hidup yang kehilangan nyawa mereka untuk membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa hormat yang tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain.
v  Ajaran Tentang Dunia
Agama Shinto adalah termasuk tipe agama “lahir satu kali”. Dalam arti, memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Meskipun demikian, dalam pemikiran Shinto ada 3 macam dunia, yaitu :
1.      Tamano-hara, yang berarti “tanah langit yang tinggi”, yaitu dunia menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2.      Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meningal dunia, yang dibayangkan sebagai dunia yang  gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan.
3.      Tokoyono-kuni, yang berarti “kehidupan yang abadi”, ”negeri yang jauh diseberang lautan”, atau “kegelapan yang abadi”, yaitu sebuah dunia yang dianggap penuh kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan suci.
Ketiga dunia tersebut sering pula disebut dengan kakuriyo (dunia yang tersembunyi), sementara dunia tempat tinggal manusia hidup disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka).
Menurut Motoori Morinaga dalam mite terdapat ketentuan dari dewi matahari mengenai suatu keabadian sejarah. Morinaga juga menyatakan bahwa dunia manusia ini akan  senantiasa tumbuh dan berkembang serta berubah terus menerus. Makanya oleh sebab itu agama Shinto tidak memiliki ajaran tentang hidup dihari kemudian atau hidup setelah mati, meskipun percaya akan adanya suatu dunia yang penuh kenikmatan dan kedamaian tempat tinggal arwah orang-orang yang hidupnya suci. Agam tersebut agaknya lebih menekankan pada pandangan yang lebih berorientasi kekinian dan keduniaan,  apalagi dunia dianggap sebagai tempat tinggal manusia yang tidak akan pernah musnah. Berdsarkan pandangan semacam ini maka saat-saat kehidupan manusia saat ini merupakan saat-saat yang penuh dengan nilai. Setiap pemeluk Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung dalam perkembangan dunia yang abadi, yang harus memanfaatkan setiap saat dalam kehidupan semaksimal mungkin. Mentalitas seperti ini, mungkin merupakan diantara lain-lain faktir yang telah membawa bangsa jepang menuju tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidup duniawi yang cukup tinggi seperti yang dapat dilihat sekarang.[18]

v  Ritual Keagamaan
Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).

Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.

Agama Shinto ada beberapa proses ritual atau ibadah ynag bertujuan untuk mensucikan diri mereka, Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.

v  Festival (Matsuri)
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.
Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak.
       Matsuri Terbesar

a)      Gion Matsuri
Adalah tradisi yang berasal dari sekitar 1.100 tahun yang lalu. Pada tahun 869 konon terjadi wabah penyakit menular yang mengganas di seluruh Jepang, sehingga perlu diadakan upacara yang disebut Goryō-e untuk menenangkan arwah orang yang meninggal karena wabah penyakit menular. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Sejak tahun 970 upacara terus diselenggarakan setiap tahun hingga menjadi Gion Matsuri seperti sekarang ini. Prosesi Yamaboko seperti yang dikenal sekarang ini konon berasal dari tahun-tahun akhir zaman Heian. Gion Matsuri sempat tidak diselenggarakan sewaktu Perang Onin, akibat kebakaran besar di era Hōei, era Temmei dan era Genji, serta serangan udara pada Perang Dunia II. Gion Matsuri kemudian dihidupkan kembali oleh warga kota yang merupakan pengusaha yang berpengaruh (machishū).
Berbeda dengan Gion Matsuri yang dikenal sekarang ini, prosesi Yamaboko yang menjadi puncak perayaan Gion Matsuri pada tahun 1966 dilakukan dalam dua tahap:
  • Zensai (prosesi Yama dan Hoko pada tanggal 17 Juli)
  • Ato Matsuri (prosesi Yama saja pada tanggal 24 Juli).
Yamaboko adalah istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float) besar dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan kendaraan (kenshōhin) pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang didatangkan dari Eropa dan Tiongkok melalui Jalan Sutra. Perdagangan dengan Dinasti Ming mencapai puncaknya pada zaman Muromachi, sehingga motif dari luar negeri banyak dipamerkan dalam Gion Matsuri. Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya merupakan cerita dongeng yang berasal dari Tiongkok.
Hoko adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya terdapat hoko (katana dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak bermenara. Hoko juga dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik karena memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat). Musik Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.

b)     Tenjin matsuri
Perayaan Tenjinmatsuri dimulai pada tanggal 1 Juni tahun 951. Pada saat itu, perayaan dibuka dengan ritual menghanyutkan kamihoko (pedang dengan mata di kedua sisi) di sungai Ōkawa. Lokasi perayaan ditentukan berdasarkan tempat tersangkutnya kamihoko yang dihanyutkan air sungai. Penghanyutan kamihoko merupakan asal-usul ritual Hokonagashi yang dilakukan sampai sekarang ini. Puncak perayaan berupa prosesi perahu berasal dari ritual Hokonagashi yang menentukan lokasi perayaan di tengah sungai.[19]
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hala yang amat penting. Kehidupan yang soleh dan taat adalah Matsuri dan hiddup itu sendiri sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut matsuri. Oleh karena didalam pemikiran bangsa jepang lama kehidupan politik harus mengikuti keinginan para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari sini timbul konsep Saise-itchi yaitu konsep kesatuan antara agama dan Negara ; dan matsuri-goto,  yang berarti pemerintahan, adalah sinonim dari kata matsuri.
Sebagai suatu festival keagamaan, dunia matsuri sangat banyak, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 macam :
·         Haru-matsuri – festival musim semi – yang bertujuan memohon rahmar dewa agar mendapat panen yang melimpah.
·         Aki-matsuri – festival musim gugur – sebagai pernyataan terimakasih pada dewa atas hasil panen yang diperoleh.
·         Reisai –. festial tahunan yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu
·         Shinko-shiki – festival arak-arakan dewa, yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan dari berbagai macam penyakit.[20]
Festival dan Matsuri yang lain
  1. Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, bulan Februari)
  2. Festival Salju Iwate (Koiwai Farm, Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari)
  3. Yosakoi Sōran Matsuri (Sapporo, Hokkaido, bulan Juni)
  4. Niigata Odori Matsuri (Niigata, Prefektur Niigata, pertengahan bulan September)
  5. Odawara Hōjō Godai Matsuri (kota Odawara, Prefektur Kanagawa)
  6. Yosakoi Matsuri (kota Kochi, Prefektur Kochi, 9-12 Agustus)
  7. Hakata dontaku (3-4 April, kota Fukuoka)
  8. Hamamatsu Matsuri (3-5 Mei, kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka)
  9. Wasshoi Hyakuman Natsu Matsuri (kota Kita Kyūshū, Prefektur Fukuoka, hari Sabtu minggu pertama bulan Agustus)[21]
Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai :
·         Chigo (anak kecil dalam prosesi)
·         Miko (anak gadis pelaksana ritual)
·         Tekomai (laki-laki berpakaian wanita)
·         Hayashi (musik khas matsuri)
·         Penari
·         Peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus
·         Pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.
Kesucian dan kebersihan, adalah suatu hal yang sangat penting. Atas pengaruh ajaran kebersihan atau kesucian ini, maka soal mandi termasuk perbuatan agama, sehingga dijadikan salah satu upacara keagamaan.[22]
Kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia dibagi menjadi beberapa tingkatan. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya dianggap sebagai masa peralihan yang mengandung bahaya tertentu.  Oleh sebab itu, perpindahan tersebut biasanya diikuti oleh upacara-upacara. Yang terpenting diantaranya ialah :
1.      Upacara Masa Kanak-Kanak
2.      Upacara Usia Dewasa
3.      Upacara Perkawinan
4.      Upacara Usia Lanjut
5.      Upacara Kematian

E.   KITAB SUCI AGAMA SHINTO
Dalam agama Shinto ada dua kitab suci yang tertua, tetapi di susun sepuluh abad sepeninggal jimmi temmo (660 SM), kaisar jepang yang pertama. Dan dua buah lagi di susun pada masa yang lebih belakangan, keempat empat kitab tiu adalah sebagi berikut :
A.    Kojiki - yang bermakna : catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 masehi, sesudah kekaisaran jepang berkedudukan di nara, yang ibukota nara itu di bangun pada tahun 710 masehi menuruti model ibukota changan di tiongkok.
B.     Nihonji -  yang bermakna : riwayat jepang. Di susun pada tahun 720 masehi oleh penulis yang sama degan di Bantu oelh seorang pangeran di istana.
C.     Yeghisiki -  yang bermakna : berbagai lembaga pada masa yengi, kitab ini disusun pada abad kesepuluh masehi terdiri atas 50 bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah kisah yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa selanjutnya sampai abad kesepuluh masehi, tetapi inti isinya adalah 25 norito yakni do’a do’a pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
D.    Manyosiu -  yang bermakan : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, yang terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad kelima dengan abad kedelapan masehi.
Kitab pertama itu menguraikan tentang alam kayangan tempat kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada amaterasu omi kami (dewi matahari ) dan tsukiyomi (dewa bulan ) diangkat menguasai langit dan puteranya jimmu tenno diangkat menguasai “tanah yang subur ”(jepang) di bumi, lalu di susuli silsilah keturunan akisar jepang itu beserta riwayat hidup satu persatunya selanjutnya upacara upacara keagamaan yang dilakukan dalam masa yang panjang itu berkenaan dengan pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Menurut cerita dari kitab kojiki dan nihongi, mula mula bumi dan langit serta seisinya dijadikan oleh para dewa (kami), dua diantara dewa dewa itu turun dari langit akan menjadikan bumi jepang, dua dewa tersebut adalah isanaga no kami (laki laki) dan isonami no kami (perempuan), dua dewa ini kemudian menurunkan beberapa dewa termasuk uga dewa matahari ynag bernama amaterasu omi kami.
Dewa langit ini kemudian mengirim seorang dewa kebumi bernama: ninigi no mikoto yang kemudian bercucu: jimmi tenno, raja jepang yang pertama kali, itulah sebabnya maka nama resmi raja jepang adalah tenno yang artinya “raja langit” , jimmi tenno naik tahta kerjaan pada tahun 660 sebelum masehi, dan dia itulah yang menurunkan raja raja jepang sampai sekarang ini. Hal ini dikarenakan penganut agama Shinto pada umunya percaya bahwa temmo raja jepang itu adalah keturunan dewa surya, amaterasu omi kami, maka para penganut agama Shinto percaya dan patuh pada temmo, memuja alam dan roh, begitu pula bendera kebangsaan jepang berbentuk tanda matahari untuk menunjukan bahwa negaranya tercipta dari matahari tempat kediaman amaterasu omi kami (dewi matahari). Sekalian kitab suci itu berisikan kisah kisah legendaris, nyanyian nyanyian kepahlawanan besrta sajak sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan jepang dan kerajaan jepang.[23]


F.    TEMPAT-TEMPAT SUCI AGAMA SHINTO


Kuil Shinto (神社 jinja) adalah struktur permanen dari kayu yang dibangun untuk pemujaan berdasarkan kepercayaan Shinto. Tidak semua kuil Shinto adalah bangunan permanen, sejumlah kuil memiliki jadwal pembangunan kembali. Bangunan di Ise Jingū misalnya, dibangun kembali setiap 20 tahun.

Pada zaman kuno, walaupun tidak didirikan bangunan, tempat-tempat pemujaan Shinto tetap disebut jinja (kuil Shinto). Pada masa itu, kekuatan alam yang ditakuti seperti gunung (gunung berapi), air terjun, batu karang, dan hutan merupakan objek pemujaan. Kuil Shinto berbentuk bangunan seperti dikenal sekarang, diperkirakan berasal dari bangunan pemujaan yang dibuat permanen setelah didiami para Kami yang pindah dari goshintai (objek pemujaan). Kuil Shinto tidak memiliki aula untuk beribadat, dan bukan tempat untuk mendengarkan ceramah atau menyebarluaskan agama. Pada zaman sekarang, kuil Shinto dipakai untuk upacara pernikahan tradisional Jepang.

a)      Asal Usul Kuil Shinto

Kuil Shinto bermula dari altar (himorogi) yang dibangun sementara untuk keperluan pemujaan di iwakura (tempat pemujaan alam) atau tempat tinggal para Kami yang dijadikan tempat terlarang dimasuki manusia, pada umumnya shintaisan (gunung tempat tinggal para Kami). Bangunan bersifat permanen mulanya tidak ada. Asal usulnya mungkin seperti utaki di Okinawa.
Sejak zaman kuno hingga sekarang, kuil Shinto sering tidak memiliki honden. Ada pula kuil yang hanya membangun haiden di depan iwakura atau gunung/pulau yang terlarang dimasuki manusia (misalnya: Kuil Ōmiwa, Kuil Isonokami, Munakata Taisha). Sebagian dari kuil Shinto sama sekali tidak memiliki bangunan, misalnya Kuil Hirō di Kumano Nachi Taisha. Setelah dibuatkan bangunan permanen, para Kami sehari-harinya dipercaya selalu ada di dalam kuil Shinto. Bangunan permanen dalam kuil Shinto juga diperkirakan sebagai hasil pengaruh agama Buddha yang selalu memiliki bangunan untuk menyimpan patung Buddha.
Berdasarkan alasan yang tidak diketahui, penganut Shinto kuno mendirikan bangunan di tempat yang berdekatan dengan goshintai yang sudah dipuja sebelumnya secara turun temurun. Bangunan Kuil Koshikiiwa misalnya, dibangun berdekatan dengan iwakura. Ketika dirasakan perlu untuk mendirikan bangunan kuil, misalnya ketika mendirikan desa, penduduk memilih tempat yang dianggap suci sebagai tempat pemujaan ujigami atau bunrei. Berdasarkan alasan pendirian bangunan, kuil Shinto dibagi menjadi tiga jenis: bangunan kuil yang didirikan berdasarkan alasan sejarah (seperti di tempat yang berkaitan dengan kelahiran sebuah klan, atau di tempat yang berkaitan dengan tokoh yang disucikan, misalnya Tenmangū di Dazaifu), bangunan kuil yang didirikan di tempat yang telah disucikan, dan bangunan kuil yang didirikan di tempat yang mudah dicapai orang. Kuil Nikkō Futarasan misalnya, berada di puncak gunung hingga perlu dibangun kuil cabang di lokasi yang mudah didatangi. Bangunan kuil dapat dibangun di mana saja, mulai dari di tengah laut, di puncak gunung, hingga di atap gedung bertingkat atau di dalam rumah dalam bentuk kamidana.

b)     Pendeta (guji) Dalam Agama Shinto

Pendeta Shinto disebut kannushi (shinshoku). Istilah kannushi sudah dikenal sejak zaman kuno untuk orang yang menjalankan ritual di kuil. Di antara tugas utama kannushi termasuk mengelola kuil dan melaksanakan berbagai upacara, namun tidak memberi ceramah dan tidak menyebarluaskan agama.Kepala pendeta disebut gūji, tugasnya memimpin upacara, mengelola manajemen keuangan kuil, dan bertanggung jawab atas keseluruhan urusan kuil.Miko adalah sebutan untuk wanita asisten kannushi dalam melaksanakan upacara atau pekerjaan administrasi kuil. Istilah miko dulunya dipakai untuk wanita yang memiliki kekuatan magis untuk menerima ramalan (takusen) dalam keadaan raga dirasuki Kami (kamigakari).[24]

G.  SEKTE-SEKTE AGAMA SHINTO
Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau kelompok. Yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri.
ü  Imperial Shinto (Kyuchu Shinto atau Koshitsu Shinto).
Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu dari kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa Matahari.

ü  Folk Shinto (Minzoku Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini. Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro. Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konghucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dan lain-lain. Kuil kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.

ü  Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
ü  Shrine Shinto (Jinja Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah yang sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines.



H.   PERBANDINGAN AJARAN AGAMA SHINTO DENGAN AGAMA LAIN
Pembagian yang lebih terperinci diajukan oleh Helmuth Von Glassenapp dalam bukunya Die Tuuf Groszen Religionen. Dia mengklasifikasikan agama-agama itu didasarkan atas kuantitatif pemeluknya dan kualitatif  pokok-pokok ajarannya. Berdasarkan sumber-sumber tentang ajarannya, maka dari pembagian agama tersebut muncullah agama-agama besar, sebagai berikut :


1.      Hinduisme
2.      Buddhisme
3.      Konfusianisme
4.      Shinto
5.      Yahudi
6.      Gereja Katolik
7.      Gereja Protestan
8.      Islam


No.
Ajaran-Ajarannya
1
2
3
4
5
6
7
8
1
Tuhan Yang Maha Esa dan Abadi
a
n
n
n
a
a
a
a
2
Pembantu Tuhan (Malaikat&Dewa-Dewa)
a
a
a
a
a
a
n
a
3
Pemujaan Terhadap Patung
a
a
a
a
n
a
n
n
4
Hari Kiamat & Pencipta Alam Hanya sekali
a
a
a
a
n
a
a
a
5
Surga dan Neraka
a
a
a
a
a
a
a
a
6
Reinkarnasi
a
a
a
a
n
n
n
a
7
Ajaran Pokok Yang Telah ditentukan
a
n
n
a
a
a
n
a
8
Sistem Kasta
a
n
a
n
n
n
n
n
9
Kependetaan atau Kerahiban
a
n
a
a
a
a
n
n
10
Kependetaan wanita
n
n
a
a
a
a
a
n
11
Poligami
a
n
n
a
a
n
n
a
12
Pantangan Atau Makanan Terlarang
a
n
n
n
a
a
a
a
13
Larangan minuman Keras
a
n
n
n
n
n
a
a
14
Pengakuan Agama Mereka Yang Benar[25]
a
n
n
n
a
a
a
a
Keterangan :    a = ada ajaran
                         n = nihil







BAB III
PENUTUP


v  KESIMPULAN
Agama Shinto didirikan mulai sekitar 2,500 - 3000 tahun yang lalu di Jepang. Agama ini timbul pada zaman prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan pasti. Agama shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Shinto (dari bahasa Cina Shen dan Tao, yang berarti "Jalan dari Jiwa-jiwa") disebut Kami-no-michi dalam bahasa Jepang, kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam.
Sistem ketuhanan agama Shinto dikenal dengan Kami. Menurut masyarakat Jepang kuno, istilah kami ditujukan untuk menyebut suatu kekuatan atau kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membedakan apakah objek tersebut hidup atau mati. Ada unsur kami dalam segala hal atau benda, telah menguatkan bahwa konsep kepercayaan yang diusung oleh agama Shinto lebih mengarah poleteistis murni. Ritual dalam agama Shinto bertempat di kuil yang biasa di kenal dengan Jinja. Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana, yaitu dengan melemparkan uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai.
Ada beberapa kitab suci yang dipercaya oleh penganut Shinto :
c)      Kojiki - yang bermakna : catatan peristiwa purbakala.
d)     Nihonji - yang bermakna : riwayat jepang.
e)      Yeghisiki - yang bermakan : berbagai lembaga pada masa yengi
f)       Manyosiu - yang bermakan : himpunan sepuluh ribu daun.
Dari uraian-uraian yang sudah dikemukakan diatas tampak bahwa agama rakyat merupakan sistem kepercayaan dan peribadatan yang benar-benar hidup di kalangan rakyat Jepang dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka seperti yang terlihat dalam kegiatan-kegiatan keluarga, rukun tetangga dan hari-hari libur nasional Jepang. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kepercayaan tradisional Jepang dan tempat agama rakyat, dalam kehidupan masyarakat Jepang modern yang termuat dalam laporan hasil penelitian yang diberi judul Nihonjin-no-kokuminsei (sifat nasional Jepang), maka pemujaan terhadap arwah nenek moyang menempati kedudukan utama dalam kehidupan masyarakat Jepang. Di samping itu rangkaian upacara dan perayaan tahunan masih tetap memainkan peranan penting dalam agama rakyat, terutama dalam lingkungan masyarakat pertanian yang umumnya terdapat dalam agama rakyat fungsinya sudah jauh berkurang, namun berbagai rangkaian kegiatan yang sepanjang tahun menjadi salah satu diantara ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama yang sudah melembaga seperti agama Shinto.
Dalam agama Shinto terdapat banayak keprcayaan terhadap dewa dewa ada banyak sekali dewa yang di percayai oleh penganut agama Shinto namun yang paling popular adalah dewi matahari (amaterasu omi kami) yang menjadi dewanya para dewa dan juga dewa bulan, penganut Shinto juga sangat patuh terhadap raja mereka yakni tenno, hal ini dikarenakan mereka percaya bahwa tenno adalah keturunan dewa jadi wajib bagi mereka untuk patuh pada tenno. Selain itu terdapat pula beberapa upacara yang diselengagarakan oleh penganut agama Shinto, salah satunya adalah upacara pembersihan diri yakni dengan memuja muja dewa matahari dan juga mengaraknya mengelilingi masyarakat sebagai tanda bahwa amaterasu omi kami telah datang dan memberikan perlindungan pada mereka.


















DAFTAR PUSTAKA

Djam’annuri. Artikel Agama Shinto dalam buku Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Kitagawa, Joseph M. Religion in Japanese history. New York : Columbia University Press.1966.
Muchtar, Adeng Ghazali. Ilmu perbandingan Agama. Bandung :Pustaka Setia. 2000.
Thalhas, T.H. Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta : Galura Pase. 2006.


[1] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[2] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.233-235
[3] http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/ . Dikutip  Maret  18,2013, pada 18:54
[4] Link:  freeink11 agama shinto
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.238
[9] Kitagawa, Religion in Japanese History, hal.68
[10] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.241-246
[12] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[13] Adeng Muchtar G.,Ilmu perbandingan Agama, hal. 125-126
[16] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.254-255
[18] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.258
[19] http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/agama-shinto.html  dikutip Maret 16,2013, pada 15:44
[20] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia,hal.259
[24] http://sofiswa.blogspot.com/2011/12/agama-shinto.html  dikutip Maret 16,2013, pada 15:44
[25] Thalhas, T.H.,Pengantar Studi Perbandingan Agama, hal. 48-49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar